Putu Wijaya
SENITULAR - Pengarang Putu Wijaya diketahui selaku novelis, cerpenis, dramawan, serta wartawan. Dia lahir bertepatan pada 11 April 1944 di Puri Anom, Tabanan, Bali. Nama lengkapnya merupakan I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya ini bisa dikenal kalau dia berasal dari generasi bangsawan.
Bapaknya bernama I Gusti Ngurah Raka. Putu Wijaya sempat menikah dengan Reni Jayusman dekat tahun 1980- an, namun umur pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Ia menikah lagi dengan Dewi Pramunawati serta dikarunia seseorang anak pria bernama I Gusti Ngurah Taksu Wijaya.
Putu Wijaya menamatkan sekolah rakyat sampai sekolah menengah atas di Bali, setelah itu Putu Wijaya melanjutkan riset di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada serta menemukan gelar sarjana hukum bertepatan pada 28 Juni 1969. Di samping berkuliah di Fakultas Hukum, Putu pula belajar di Perguruan Seni Drama serta Film (Asdrafi) sepanjang satu tahun, ialah tahun 1964.
Dalam kehidupan tiap hari Putu Wijaya tidak sempat mengenakan gelar sarjana hukumnya. Tahun 1968 dia turut bermain di Bengkel Teater Rendra serta pernah mementaskan "Bip- Bop" serta "Pozzo" dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969.
Semenjak tahun 1959 Putu Wijaya bermain drama dengan Kelompok Sanggar Bambu. Di sanggar itu, dia menyutradarai pementasan Lautan Bernyanyi tahun 1968. Sehabis pindah ke Jakarta, Putu Wijaya bergabung dengan kelompok Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Ia pula mencampurkan diri dengan kelompok Teater Terkenal pimpinan Teguh Karya.
Di samping itu, Putu Wijaya pula bekerja selaku redaktur majalah Ekspres. Sehabis mengetuai majalah Ekspres( sebab majalah itu mati), dia bekerja selaku redaktur majalah Tempo. Pada dikala seperti itu Putu Wijaya menemukan sokongan dari sebagian temannya di Tempo buat mendirikan suatu teater.
Kesimpulannya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri. Ia pula sempat jadi redaktur majalah Era. Tahun 1973 Putu Wijaya menemukan beasiswa buat belajar drama di Jepang sepanjang satu tahun.
Dalam menjajaki pelajaran itu, dia turut hidup dengan kelompok warga komunal di Ittoen, Jepang. Di situ Putu Wijaya hidup selaku petani. Putu pula menyertai kelompok itu buat berkelana dalam usaha membagikan pertunjukan" sandiwara rakyat keliling" yang bernama" Swaraji".
Ia cuma mampu menggunakan beasiswa itu sepanjang 7 bulan, kemudian kembali ke Indonesia serta aktif kembali selaku staf redaksi majalah Tempo. Tahun 1974 Putu Wijaya menemukan peluang buat menjajaki lokakarya penyusunan kreatif di Iowa City, Amerika Serikat. Aktivitas itu bernama International Writing Program yang diselenggarakan oleh Universitas Negara Iowa.
Sehabis kembali ke Indonesia tahun 1975, dia menemukan peluang buat bermain drama dalam Festival Teater Sejagat di Nancy, sebelah timur kota Paris, Prancis. Tahun 1985 Putu Wijaya menjajaki aktivitas Festival Horizonte III di Berlin, Jerman.
Dalam berkarier Putu Wijaya populer selaku penulis naskah drama. Dari tangannya sudah timbul sebagian naskah drama modern yang beraliran arus pemahaman. Naskah drama yang ditulisnya tidak sama dengan naskah drama konvensional.
Di samping itu, Putu Wijaya pula menulis sebagian novel yang beraliran baru. Novel- novelnya pula bercorak" arus pemahaman"," absurd", semacam pula corak- corak novel Iwan Simatupang. Novel bercorak kejiwaan serta filsafat ialah karakteristik tulisan Putu Wijaya. Putu Wijaya pula menulis cerita pendek.
Beberapa cerita pendeknya timbul, baik yang berbentuk novel ataupun yang terbit di bermacam majalah serta pesan berita. Sama semacam drama serta novelnya, cerita pendek Putu Wijaya pula bercorak baru, beraliran pemahaman baru, serta mengatakan banyak stream of consciousness.
Banyak kritikus serta pengamat sastra yang membagikan kritik serta pendapat terhadap Putu Wijaya. A. Teeuw melaporkan kalau Putu Wijaya merupakan orang yang sangat energetik serta serbabisa. Ia bukan cuma wartawan serta anggota senantiasa staf redaksi majalah Tempo, melainkan pula sutradara serta penulis drama. Faktor keterasingan (selaku karakteristik khas manusia modern) kian jelas dalam novel- novelnya.
Di sinilah dia menampilkan bakatnya selaku novelis sepenuh- penuhnya. Umar Junus membandingkan peran Putu Wijaya dengan Iwan Simatupang, bila dilihat dari kedatangan novelnya.
Umar Junus melaporkan kalau pengetahuan pembaca tentang novel diikat oleh novel- novel Balai Pustaka, hingga pengetahuan ini tidak hendak mengimbaunya buat membagikan respon positif terhadap novel- novel yang ditulis Iwan Simatupang maupun Putu Wijaya walaupun dengan gampang pembaca tersebut bisa menguasai novel Mochtar Lubis serta Ramadhan K. H.
Buat membagikan respon positif terhadap novel Iwan Simatupang serta Putu Wijaya, seseorang pembaca mestilah membebaskan diri dari kerangka pemikiran yang diciptakan pengetahuannya tentang novel- novel Balai Pustaka. Novel-novel Putu Wijaya serta Iwan Simatupang diciptakan dengan kerangka pemikiran yang sudah berbeda sama sekali.
Baca Juga : WS Rendra
Karya Putu Wijaya
Putu Wijaya sudah menulis karya sastra dalam jumlah yang besar, baik dalam wujud drama, novel, cerpen, ataupun puisi. Sebagian drama yang ditulis Putu Wijaya, antara lain:
- Lautan Bernyanyi, 1967,
- Anu, 1974,
- Aduh, 1975,
- Dekagram Dig Dug, 1976,
- Edan, 1977,
- Gerr, 1986.
Sementara untuk kumpulan cerita pendek Putu Wijaya, antara lain:
- Bom, 1978,
- Es, 1980,
- Gres, 1982
Putu Wijaya juga diketahui secara luas. Kumpulan puisi Putu Wijaya bertajuk Dadaku merupakan Perisaiku, terbit tahun 1974. Ia pula menulis banyak novel yang menemukan sambutan luas. Novel- novel tersebut yakni
- Apabila Malam Meningkat Malam, 1971,
- Telegram, 1972,
- Pabrik, 1976,
- Stasiun, 1977,
- Ms, 1977,
- Tidak Lumayan Pilu, 1977,
- Ratu, 1977,
- Legal, 1977,
- Keok, 1978,
- Sobat, 1981,
- Lho, 1982,
- Nyali, 1983,
- Pol, 1987,
- Perang, 1995,
- Mala Tetralogi Dangdut 2008.
Kumpulan cerpennya bertajuk Klop (2010) Semenjak tahun 1990- an, Putu Wijaya bergiat pula dalam dunia perfilman. Ia mendirikan "Putu Wijaya Mandiri Production", rumah penciptaan buat pembuatan sinetron di tv.
Ia sudah menyutradarai 3 buah film buat layar lebar, ialah: Cas- Cis- Cus, Zig Zag, serta Plong. Buat tipe sinetron, rumah produksinya sudah menciptakan Dukun Palsu (13 episode), Cocok (52 episode), None (39 episode), Warteg (20 episode), serta Jari- Jari Cinta.
Putu Wijaya menemukan sebagian penghargaan serta hadiah atas karya-karyanya. Tahun 1967 naskah Putu Wijaya "Lautan Bernyanyi" menemukan hadiah ketiga dari Tubuh Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penyusunan Lakon.
Tahun 1980 dia mendapatkan Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand atas karyanya Telegram serta tahun 2008 dia menerima Penghargaan Federasi Teater Indonesia di Halaman Ismail Marzuki.***
Post a Comment